Rabu, 20 November 2019

BADAI MENGHADANG DI GUNUNG KEMBANG


Gunung Kembang. Banyak yang menyebutnya anak dari gunung Sindoro. Ya, karena letaknya persis di sebelah gunung Sindoro, dengan ukuran yang lebih kecil. Itulah target perjalanan kami berikutnya.

Pukul 11 siang kami sudah berkumpul di meeting point pertama di SMA Negeri 1 Karangkobar. Namun beberapa perbekalan pribadi masih harus kami lengkapi. Mulai dari sleeping bag, air hingga sendok, gelas, dan beberapa hal kecil lain kami pastikan terlengkapi. Seberkumpulnya kami, perlengkapan bersama kami pastikan ada. Tenda dan peralatan masak jadi fokus utama. Jumlahnya cukup tersedia.


Selepas Dhuhur kami bersiap meluncur. Sejumpa kami dengan Heru kawan kami, meskipun dia tak serta dipimpinlah doa mengawali perjalanan kami bertujuh. Kami pun lantas menuju meeting point kedua, Batur.


Di meeting point dua kami menanti seorang Nurya yang akan turut serta. Sembari menanti kami bersantap nasi yang telah dibeli sedari tadi oleh rekan kami Hana dan Hani.

Nurya terlihat, formasi lengkap, kamipun berangkat. Dan tibalah kami di basecamp pukul empat. Sambutan manis dari basecamp gunung Kembang via Blembem berupa gerimis.




Sedikit melepas penat kami beristirahat. Perlengkapan dan sediaan konsumsi kami diperiksa dengan teliti. Hingga kami siap registrasi dan membayar simaksi. Gerimis tadi petang menjelma hujan yang menantang. Ya sudah, kami nanti magrib menjelang.


Sebelum pukul setengah tujuh berlalu kami awali pendakian, berdoa bersama tuk lancar perjalanan, dan selamat hingga pulang kami pun mulai berjalan.



Pelan kami berjalan, menembus kabut selagi malam belum larut. Pos 1 Istana Katak, terlewat tanpa terlihat. Pos 2 Gerbang 290 kami singgah sebelum memasuki hutan yang basah. Pos Liliput, Pos Simpang Tiga, dan Pos Akar, kami lewati dengan berkian kali berhenti. Pos Sabana, deru angin mulai membahana. Badai gunung kembang telah datang.

Kami masih melangkah lagi, selangkah-demi selangkah. Deru angin kian kencang, di tengah sabana yang kian sedikit pohon untuk berpegang, kami putuskan tuk segera membangun perlindungan. Sembari mendaki kami mencari di kanan dan kiri, dan akhirnya kami temui. Tempat yang cukup lapang, untuk mendirikan dua tenda, gugusan rumput diatasnya sekiranya dapat sedikit melindungi kami dari badai. Namun kami hanya mendirikan satu tenda. Untuk berlindung kaum hawa. Sementara untuk para pria, mendirikan tenda justru beresiko untuk sang tenda itu sendiri. Kami pun sepakat untuk tidur beralaskan matras beratapkan langit saja. Sementara Nurya membuat biliknya sendiri, diantara semak, namun justru dia yang paling nyaman.

Malam kami lalui, dengan suara badai yang mengintimidasi. Tak nyenyak. Sebatang pohon yang hanya sepelukan telapak tangan, turut menjadi beban pikiran. Angin kencang membuatnya bergoyang, yang kami khawatirkan jika pohon tersebut tak mampu bertahan, sementara sebagian dari kami tak lelap dibawahnya.



Pagi menjelang. Meski belum mencapai puncak tapi kami beruntung dapat menyaksikan sunrise dari tempat kami bertenda. Badai belum reda, namun terbitnya mentari memberi sedikit rasa lega. Aku bersandar pada pohon yang dari semalam terus bergoyang, rasanya seperti naik odong-odong, padahal aku tak tahu rasanya naik odong-odong.



Perlengkapan tidur kami kemasi, kami masukkan ke dalam tenda yang masih berdiri, dan kami kembali mendaki. Ternyata tak berlama kami mendaki, di puncak Kembang kami pijakkan kaki. Memang puncak sedang menyapa badai, kami tak mampu berdiri dengan santai. Butuh perjuangan tuk mengabadikan momen yang kan jadi kenangan.




Hampir satu jam kami bertahan, dengan badai kami berkawan, Sindoro dan lautan awan, tak bosan jadi sasaran pandang, rasanya tak ingin pulang. Turun. Kembali ke tempat kami berlelap semalam. Bersiap kami pulang, tak satu sampah kami tinggalkan. Turun.

Jalan menurun dan berdebu kami lalui, beruntung ada tali yang terpasang di beberapa titik membantui. Kembali kami memasuki hutan. Deru badai masih sesekali terdengar. Ternyata perut kami lapar.

Berkali kami berhenti, pelan sajalah, sembari mencarilah kami tempat ideal tuk memasak, karena badai dari semalam membuat kami tak berani menyalakan api, terlalu beresiko.

Baca Juga : @Lawu

Sebertemunya kami dengan tempat yang nyaman, kami persiapkan peralatan. Kompor gas beraksi, memanaskan air dalam panci. Mi instan, nugget dan sosis menu andalan kami. Perut kami terpuaskan dengan menu instan. Tak lupa Gega Coffe yang turut nangkring dalam daftar bekal, salah satu kopi terbaik Jawa Tengah.





Kenyang, kembali kami bersiap melanjutkan perjalanan, tak lupa kami periksa lokasi sebelum beranjak, memastikan tak ada sampah terserak.

Hutan terlalui, hamparan kebun teh menyambut kami. Lelah yang telah hinggap, membuat kami berkali istirahat. Terbayang di benak kami, nyamannya jika ada angkutan lewat di dapan kami. Hingga tak berasa sampailah kami di Pos Istana Katak. Beristirahat kembali. Tak berlama kami disana, terlihatlah sosok Tayo mendekat. Tayo adalah sebutan untuk sebuah truk evakuasi. Fasilitas milik basecamp Blembem, untuk membantu kami pendaki yang kelelahan dalam perjalanan turun. Kami pun sepakat memanfaatkan fasilitas tersebut. Pun beberapa pendaki lain yang turut bersama.



Alhamdulillah kami sampai di basecamp, sekejap melepas lelah, membersihkan wajah, menyeruput segelas teh hangat yang dipesankan oleh Utami, mengembalikan peralatan yang terpinjam, saatnya perhitungan. Menghitung jumlah sampah yang kami bawa turun, tak boleh berkurang suatu apapun.

Selesai. Kami kembali pulang ke rumah masing-masing. Membawa kisah tentang badai yang menghadang di gunung Kembang.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar